Senin, 03 Agustus 2009

Bab 4. Puan Ayu Berjarik Setengah Tiang

Beberapa penggal purnama silam…

Perdu-perdu tumbuh sekehendak hati, sementara rimpang menyelip diantaranya. Pun tanaman akar-akaran perlu ditilik supaya mudah ditemui. Perempuan itu berbakul, mengenakan kemben dengan penutup seadanya serta jarik yang melilit tapi terangkat sedikit di batas betis, seperti bendera berkibar setengah tiang.

Jarik yang dikenakan bercorak, tak seperti kawula yang hanya mengenakan kain hitam. Kiranya entah berasal dari mana perempuan tersebut. Tiada yang mengetahui ataupun enggan bertanya lebih, karena si empunya tubuh itu tak pernah berniat menyeriterakan perihal hidupnya. Misteri, yah.. perempuan itu penuh misteri.

Subuh ketika lintang timur belum lagi benderang, ia sudah menggelung rambut seadanya serta berkelebat melampaui benteng, sedikit ilmu kanuragan membantunya melayang menghindari penjagaan.

Dan subuh ialah waktu yang tepat untuk menyusuri bukit kecil yang agak membentang tak jauh dari kaputren.

Dari sini ia akan merunduk lebih lama sejurus bumi, membelai tanaman-tanaman dan memilah berdasar khasiat terkandung. Beratus macam jika lebih jeli. Burung-burung membawa bebijian dari kantung mulut dan menjatuhkan sisa bekal itu di perjalanan hingga tumbuhlah berjenis-jenis tanaman.

Sudah nyaris sepekan ini ia menyadari dirinya diikuti. Ia tahu benar ada sesosok yang bersembunyi terkadang di balik perdu, terkadang pula di balik rimbun bambu, atau memanjat cemara dan hari ini, si tuan penyembunyi itu ngumpet di atas pohon maja yang buahnya menggelantung lebat.

Dengan sedikit tenaga dalam, perempuan itu menyentilkan batu seibu jari kearah buah maja, hingga jatuh berdentam lah buah berasa pahit itu. Sang pemuda terkesiat, seketika melompatlah ia. Untung saja masih mampu berdiri tegap.

Polahnya menjadi salah tingkah sudah ketangkap basah sedemikian rupa. Perempuan tersebut hendak terpingkal, tapi tentu tertahan di bawah wibawa.

“engkau cantik, Puan..” tanpa tedeng aling-aling, sang pemuda menyambar bagai kilat di siang bolong. Wajah perempuan ayu itu memerah seketika. Lemas, seperti tak berenergi. Ia melempar pandang, menjauh.. melarikan diri pada ilalang nun disana.

Tak sampai 30 hitungan perempuan itu sudah bisa menguasai diri. Ditariknya nafas perlahan dan mengangkat dagu setingkat ke atas.

“tak punya keberanian lebihkah hingga harus menunggu sepekan untuk berwujud?” tantangnya. Lebih halus kata untuk menuding pemuda itu pengecut.
“ahh..Dewi.. apakah engkau titisan Dewi Uma, sehingga bisa demikian indah? Hingga membuat seorang seperti aku demikian pengecut”
“mungkin bukan, tetapi mungkin aku titisan Dewi Durga, penjaga kubur-kubur, hingga kaupun harus keluar dari liang dan mengaku wajah padaku”
“ahh, Puan.. sungguh pintar kau membalas kata. Maafkanlah sikap ku yang tak berbudi dan tak tahu sopan santun ini. Perkenalkanlah.. saya bernama Tranggana Nalaya. Sudikah kiranya Puan membagi nama Puan hingga mudah kiranya saya menyapa”
“aku tak bernama. Anggaplah demikian”

Perempuan itu lantas menghindar dan beranjak menjauh. Tapi Nalaya tak tinggal diam. Dia mengejar. Ibarat kata Rajapala sudah kepincut satu bidadari, mencuri pun tak jadi soal agar bisa diperistri. Selendang sebagai sayap bidadari disembunyikan dalam kepura-puraan.

Nalaya memang ingin mencuri, sudah ditekadkannya sedari semula bersua. Tapi yang hendak dicurinya bukan selendang Puan ayu itu, bukan pula sisa pakaian yang melilitnya atau bahkan bakul yang senantiasa dibawa. Bukan! Melainkan hati sang Puan.

“ayolah Puan.. katakan saja namamu, tiada susah menyebut saja” bujuk Nalaya.

Puan ayu itu masih bungkam. Segera ia menyudahi meneliti tetumbuhan, bergegas meninggalkan pemuda. Sang pemuda terpaku tapi seketika terkesiap dan mengikuti kepergian Puan ayu. Ia masih saja menggoda

Nalaya, sang pemuda berusaha mengejar, tetapi ia tak menemukan. Barangkali ia mendahului, maka Nalaya berbalik arah, menelusuri. Tapi tetap saja tidak ada. Berarti perempuan ayu itu menggunakan ilmu kanuragannya untuk menghindar. Tetapi mengapa?

Bilik hati Nalaya bertanya-tanya. Dan ia memutuskan harus ke desa. Barangkali ada jawaban di sana. Sepekan mengintai, dan setelah bercakap sejenak, ia ditinggal pergi. Tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Nalaya tahu, Desa mungkin akan memberi jawaban, siapa Puan ayu itu?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar