Selasa, 04 Agustus 2009

Bab 5. Kadung Katresnan

Senja sudah nyaris menghilang tenggelam malam. Nalaya memasuki perkampungan. Dari kejauhan didengarnya suara gamelan bertabuh, gending gendang dan suara sinden mengalun, menyatu. Kiranya ada hajat besar di desa itu. Ia coba dekati sumber keriuhan, tak begitu sulit. Karena banyak kawula berkumpul.

Nalaya bergabung, pelan-pelan ia menyusup hingga berjejer di deret paling depan. Bisa dilihatnya dengan jelas satu demi satu para pemain. Masing-masing pemain sangat khusyuk dengan alat musik yang dihadapnya. Kepala mereka bergoyang-goyang mengikuti tempo permainan. Liuk tinggi rendah suara pesinden menambah suasana menjadi meriah. Pesinden itu tampak cantik, berbalut kain bercorak merah jati dengan gelungan rambut tertata rapi.

Sementara disisi kanan kiri Nalaya, kawula tua muda, kanak remaja dewasa terlihat sangat menikmati. Ada yang menghentak-hentakkan kepala, bahu, ada pula yang tersipu-sipu menggerakkan jemarinya. Tak sedikit juga yang memandang kosong sebetulnya. Nalaya mengamati satu persatu wajah orang-orang itu. Tiba-tiba ia teringat tujuan semula.

Apakah mungkin Puan Ayu itu berada bersama orang-orang ini? Apakah ia ada di antaranya? Tapi rasanya Nalaya ragu. Perempuan itu begitu tertutup. Seminggu ia mengamati, tak sua ia menjumpai Sang Puan berada di keramaian. Boleh dikata, perempuan itu cenderung menyendiri. Subuh hari ia sudah berada di tepi hutan larangan yang kabarnya banyak hewan-hewan buas. Ia tidak masuk ke dalam. Hanya menyisiri tepian saja.

Di tepian itulah nyaris sepekan penuh Nalaya mengamati. Awalnya hanya mengamati saja, menikmati dari balik pohon maja wajah ayu itu menilik satu persatu tetumbuhan. Sesekali ia memerlukan untuk membaui, kadang ia menggosok-gosokkan rimpang di antara kedua telapak tangannya, lalu menyentil-nyentil pelan. Entah apa maksud dan tujuannya, Nalaya sendiri tidak faham.

Lamunan Nalaya seperti tertahan ketika ada salah seorang menjerit di antara kerumunan orang ramai. Suara gaduh pun mulai terdengar. Konsentrasi penonton terpecah. Dari kabar mulut satu ke mulut lain, diperoleh berita seorang yang menjerit tadi digigit ular, kobra katanya.

Dan tepat di hadapan Nalaya, melintas dengan tergesa seekor ular lebih dari sedepa panjanganya, berwarna hitam mengkilat, berlurik kuning di punggung tubuh. Nalaya sigap, benarlah kalau demikian, ular ini barangkali yang baru saja menyebabkan orang tadi menjerit. Nalaya mengambil ancang-ancang. Mengetahui mendapat musuh, kobra itu segera menarik diri, bersiaga, kepalanya berdiri dengan kepala membuka seperti centong nasi.

Nalaya berputar, diikuti oleh gerak kobra itu pula. Si lurik kuning memulai serangan, mencoba mematuk kaki Nalaya, sedetik saja Nalaya terlambat melompat, tidak dapat dibayangkan yang terjadi. Lantas ular itu mengejar tangan Nalaya, sempat melompat juga, agresif. Nalaya merapal mantra, entah apa. Lantas ia sapukan tangan kanannya ke udara seakan mengambil segenggam angin, kemudian dihempaskannya pada muka Si Lurik kuning itu.

Dalam jeda yang tak tertangkap mata, Nalaya berhasil menangkap kepala Si lurik kuning. Tapi, bukannya menyerah, kobra itu justru melilit lengan Nalaya dengan kuat. Tak bisa tidak, Nalaya harus mematikan ular itu. Dan sebuah ketokan di tempurung kepala ular itu, membuat nyawa Si Lurik Kuning tandas.

Lurik Kuning melemas dan meregang nyawa dengan cepat. Tubuhnya menggelojot di tanah. Nalaya memotong bagi dua tubuh itu, memisahkan kepala dan ekor.
“adakah yang bisa membantuku mengubur kedua ini secara terpisah?”
Katanya pada kerumunan yang ternyata sedari tadi menyaksikan aksinya. Ia tak menyadari. Seorang lelaki separuh baya, berkumis lebat maju menghadap.
“biar aku kubur”
Seseorang berteriak di belakang.
“hei..! kita santap saja.. bakar, tentu empuk dan lezat”
Tapi disahut dengan suara lain.
“ular itu sudah memakan korban si Daluh. Kubur saja!”
Dan suara-suara setuju tidak semakin ricuh. Nalaya tak ambil pusing, tugasnya telah selesai. Tapi, betul juga, bagaimana kabar seseorang yang menjerit tadi? Siapa? Si Daluh, tadi ada yang menyebut.

Nalaya membuka pandang, dan didapatinyalah seorang yang tengah terbaring tengah diobati, permukaan kakinya ternyata yang digigit dan bagian itu dibalur ramuan hijau kehitaman setelah 'bisa' dibuang. Lantas perempuan yang membantunya itu membebat Daluh dengan sobekan kain yang diberikan oleh istri Daluh. Daluh sendiri pingsan.

Nalaya seperti tersihir, setelah istri Daluh mengucap terima kasih bertubi-tubi pada perempuan yang hendak beranjak itulah, Nalaya baru menyadari kalau itu adalah perempuan yang dicari-carinya. Ya! Itu dia puan ayu berjarik setengah tiang.

Mulut Nalaya terkelu, nyaris tak bisa berujar sepatah katapun saking bahagianya mendapati Sang Puan dalam tempo singkat. Sementara perempuan itu sudah melangkah pergi. Tergeragap, Nalaya memanggil:
“Puan.. Puan ayu!! Tunggu!”

Sang Puan Ayu seperti mengenali suara Nalaya, sekejap saja ia menoleh demi mendapati wajah Nalaya, setelah ia yakin suara itu, ia bergegas pergi. Lantas lenyap dari pandangan. Nalaya menyusulnya tergopoh-gopoh. Tapi lagi-lagi gagal. Seperti sebelumnya. Nalaya menendang rumput basah tak berdosa, kakinya malah menyendal batu, hingga ia meringis kesakitan.

Sedikit pincang, Nalaya mendekati Daluh dan istrinya.
“bagaimana keadaannya?” Tanya Nalaya sambil tetap meringis, kakinya sendiri berdarah karena tunggul batu yang disendalnya.
“masih pingsan. Untung saja ada Dewi Jingga”
“siapa tadi kau sebutkan namanya?”
“Dewi Jingga? Entahlah.. seluruh penduduk menjulukinya demikian, tapi kami tak pernah tahu nama sebenarnya dan tak pula kami tahu dari mana ia berasal. Ia begitu misterius”
“siapa dia??” Nalaya masih penasaran.
“tidak ada yang tahu”
“lantas, kenapa orang-orang memanggilnya Dewi Jingga?”
“ohh, itu karena ia selalu muncul di subuh manakala matahari terbit, dan saat matahari terbenam. Ia tabib”

Nalaya termenung. Tapi masih ada harap di esok kala matahari terbit. Dan ia bertekad menunggu. Kadung! Ya, ia sudah kadung tresnan dari semula.

Senin, 03 Agustus 2009

Bab 4. Puan Ayu Berjarik Setengah Tiang

Beberapa penggal purnama silam…

Perdu-perdu tumbuh sekehendak hati, sementara rimpang menyelip diantaranya. Pun tanaman akar-akaran perlu ditilik supaya mudah ditemui. Perempuan itu berbakul, mengenakan kemben dengan penutup seadanya serta jarik yang melilit tapi terangkat sedikit di batas betis, seperti bendera berkibar setengah tiang.

Jarik yang dikenakan bercorak, tak seperti kawula yang hanya mengenakan kain hitam. Kiranya entah berasal dari mana perempuan tersebut. Tiada yang mengetahui ataupun enggan bertanya lebih, karena si empunya tubuh itu tak pernah berniat menyeriterakan perihal hidupnya. Misteri, yah.. perempuan itu penuh misteri.

Subuh ketika lintang timur belum lagi benderang, ia sudah menggelung rambut seadanya serta berkelebat melampaui benteng, sedikit ilmu kanuragan membantunya melayang menghindari penjagaan.

Dan subuh ialah waktu yang tepat untuk menyusuri bukit kecil yang agak membentang tak jauh dari kaputren.

Dari sini ia akan merunduk lebih lama sejurus bumi, membelai tanaman-tanaman dan memilah berdasar khasiat terkandung. Beratus macam jika lebih jeli. Burung-burung membawa bebijian dari kantung mulut dan menjatuhkan sisa bekal itu di perjalanan hingga tumbuhlah berjenis-jenis tanaman.

Sudah nyaris sepekan ini ia menyadari dirinya diikuti. Ia tahu benar ada sesosok yang bersembunyi terkadang di balik perdu, terkadang pula di balik rimbun bambu, atau memanjat cemara dan hari ini, si tuan penyembunyi itu ngumpet di atas pohon maja yang buahnya menggelantung lebat.

Dengan sedikit tenaga dalam, perempuan itu menyentilkan batu seibu jari kearah buah maja, hingga jatuh berdentam lah buah berasa pahit itu. Sang pemuda terkesiat, seketika melompatlah ia. Untung saja masih mampu berdiri tegap.

Polahnya menjadi salah tingkah sudah ketangkap basah sedemikian rupa. Perempuan tersebut hendak terpingkal, tapi tentu tertahan di bawah wibawa.

“engkau cantik, Puan..” tanpa tedeng aling-aling, sang pemuda menyambar bagai kilat di siang bolong. Wajah perempuan ayu itu memerah seketika. Lemas, seperti tak berenergi. Ia melempar pandang, menjauh.. melarikan diri pada ilalang nun disana.

Tak sampai 30 hitungan perempuan itu sudah bisa menguasai diri. Ditariknya nafas perlahan dan mengangkat dagu setingkat ke atas.

“tak punya keberanian lebihkah hingga harus menunggu sepekan untuk berwujud?” tantangnya. Lebih halus kata untuk menuding pemuda itu pengecut.
“ahh..Dewi.. apakah engkau titisan Dewi Uma, sehingga bisa demikian indah? Hingga membuat seorang seperti aku demikian pengecut”
“mungkin bukan, tetapi mungkin aku titisan Dewi Durga, penjaga kubur-kubur, hingga kaupun harus keluar dari liang dan mengaku wajah padaku”
“ahh, Puan.. sungguh pintar kau membalas kata. Maafkanlah sikap ku yang tak berbudi dan tak tahu sopan santun ini. Perkenalkanlah.. saya bernama Tranggana Nalaya. Sudikah kiranya Puan membagi nama Puan hingga mudah kiranya saya menyapa”
“aku tak bernama. Anggaplah demikian”

Perempuan itu lantas menghindar dan beranjak menjauh. Tapi Nalaya tak tinggal diam. Dia mengejar. Ibarat kata Rajapala sudah kepincut satu bidadari, mencuri pun tak jadi soal agar bisa diperistri. Selendang sebagai sayap bidadari disembunyikan dalam kepura-puraan.

Nalaya memang ingin mencuri, sudah ditekadkannya sedari semula bersua. Tapi yang hendak dicurinya bukan selendang Puan ayu itu, bukan pula sisa pakaian yang melilitnya atau bahkan bakul yang senantiasa dibawa. Bukan! Melainkan hati sang Puan.

“ayolah Puan.. katakan saja namamu, tiada susah menyebut saja” bujuk Nalaya.

Puan ayu itu masih bungkam. Segera ia menyudahi meneliti tetumbuhan, bergegas meninggalkan pemuda. Sang pemuda terpaku tapi seketika terkesiap dan mengikuti kepergian Puan ayu. Ia masih saja menggoda

Nalaya, sang pemuda berusaha mengejar, tetapi ia tak menemukan. Barangkali ia mendahului, maka Nalaya berbalik arah, menelusuri. Tapi tetap saja tidak ada. Berarti perempuan ayu itu menggunakan ilmu kanuragannya untuk menghindar. Tetapi mengapa?

Bilik hati Nalaya bertanya-tanya. Dan ia memutuskan harus ke desa. Barangkali ada jawaban di sana. Sepekan mengintai, dan setelah bercakap sejenak, ia ditinggal pergi. Tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Nalaya tahu, Desa mungkin akan memberi jawaban, siapa Puan ayu itu?.

Minggu, 02 Agustus 2009

Bab 3. Bila Hati yang Terpaut

Sesosok peninggal wangi tanjung itu mengenakan kain pembalut berwarna putih gading. Halus dan sangat licin. Kain itupun menutupi sebagian wajahnya, menyisakan dua buah telaga yang begitu bening dan indah. Pada permukaan telaga itu menggenang luapan-luapan air yang nyaris menguap, tumpah.

“kau bodoh Nalaya! Kau bodoh!!” berkali-kali kalimat itu terngiang-ngiang di benaknya. Kalimat itu bersarang dan berputar-putar di ujung lidahnya tanpa pernah bisa keluar melewati batas bibir.

Nalaya tak sadarkan diri. Sebuah jarum kecil pembius telah ditiupkan melalui sumpit oleh bibir yang terhembus udara.

Kendati hatinya masih terus mengumpat lelaki itu, tapi tak urung tangannya tetap bekerja membersihkan lumpur di sekujur tubuh dan luka yang masih mengalirkan darah. Airmatanya terus menetes. Bibir itu sesekai menyeka dan menelan asin bulir halus tersebut.

Selembar selendang, dicelup pada air di batok kelapa yang masih bersih, lantas selendang itu diusapnya pada pelipis Nalaya. Lalu turun, melingkari mata, dicelupnya lagi, dan air di batok itu sudah mengeruh. Kali ini ia mengusap kening, pipi, hidung, dagu.. begitu seterusnya hingga wajah itu tampak rupa.

Perempuan itu memerlukan mengambil air lebih banyak untuk membersihkan tubuh Nalaya yang tadi berkubang lumpur. Dengan gesit ia bertindak dan dalam sekejap saja ia berhasil mengumpulkan air dalam berbelas batok.

Setelah seluruh permukaan wajah, leher, lengan dan kaki bersih dari tempelan lumpur. Perempuan itu berdiam sejenak. Ia memandang, kemudian mundur setindak. Maju lagi, lantas mundur setindak lagi. Ragu, ya! Ia ragu bertindak.

Dipikirnya berulang dalam maju-mundur beberapa kali itu. Ia menarik nafas panjang dan akhirnya ia membulat untuk maju dan mendekati Nalaya yang masih tak sadarkan diri. Dibukanya perlahan pakaian yang membalut Nalaya. Sesekali ia memerlukan untuk memejamkan mata. Kemudian diusapnya lagi dengan selendang basah hingga tubuh itu bersih. Setelah itu, dengan nafas tertahan, ia menurunkan pakaian penutup bagian bawah tubuh Nalaya. Iapun mengusapnya dengan selendang basah. Jantungnya berdegup kencang menemukan kemaluan Nalaya.

Dan saat ia akan membersihkannya, tubuh Nalaya bergerak. Perempuan itu terkesiap.

Jumat, 31 Juli 2009

Bab.2 Palung Amarah

Nalaya nama si pemuda yang berkubang dalam lumpur itu. Tak ada jalan lain. Ia harus keluar. Apapun itu, ia harus keluar. Mati dengan perlawanan jauh lebih berharga diri ketimbang mati terhunus tombak dalam kubangan lumpur. Nalaya bergerak. Menyingsingkan lumpur yang terlanjur melekat sekujur tubuh. Dikebas berkali-kali yang ada di depan mata. Tinggal beberapa langkah para prajurit di hadapannya, kendati berjarak mereka telah mengancamkan tombak-tombak mereka pada angin dengan arah Nalaya.

Keris di tangan kiri dikebut paksa, membuang lumpur, lagi. Cahaya obor bambu membiaskan kilat pada bilah keris. Nalaya mengambil kuda-kuda mempersiapkan diri untuk bertahan habis-habisan. Dari segi posisi, dia sudah kalah dulu.

“maju!” tantangnya mengaburkan nyali yang kian mengerut. Yang dipikirnya sekarang hanya satu, mati. Dan sebelum itu, dia akan melawan habis-habisan. Tetapi, konon.. saat seseorang bertarung dengan tak mengindahkan kematian, maka api semangatnya akan melampaui berpuluh bahkan beratus tombak keberanian. Nekad, bisa menjadi senjata yang mematikan. Dan itulah ajian pamungkas Nalaya.

Nalaya menggeram keras dan disambut dengan suara yang tak kalah nyaring dari mulut-mulut para prajurit. Dengan kondisi tubuh penuh luka, rasanya tidak memungkinkan Nalaya mampu melawan, ditambah tenaga dalamnya sudah habis saat bertarung dengan Ki Demang kala senja.

Benar saja, alam bawah sadar memang mendorongnya untuk maju, tetapi, tubuhnya tak kuasa, ia nyaris tumbang tanpa sempat memberikan perlawanan. Seketika, sekelebat bayang menyentuhnya dan membawanya pergi bagai kilat lewat. Sekelebat bayang itu meninggalkan aroma bunga tanjung yang kentara.

Dan tentu saja meninggalkan para prajurit yang kontan melongo mendapati mangsanya lenyap dalam waktu sekejap. Wewangian jejak sang bayangan tadi semakin kuat dan makin menyengat, membuat pening dan entah apa atau berasal dari mana wangi itu membuat para prajurit satu persatu ambruk.

Sesaat kemudian, Ki Demang datang dengan beberapa prajurit tambahan. Tahu incarannya melarikan diri, ia semakin geram. Matanya nyalang, sementara tangannya keras terkepal.

“bedebah!”

Tapi ada yang aneh, Ki Demang menyadari satu hal yang ganjil. Tidak memungkinkan cecunguk seperti Nalaya mampu minggat seorang diri dan merobohkan para prajurit ini. Tidak mungkin. Pasti ada seseorang yang membantunya. Pasti. Tapi siapa?

Lalu Ki Demang mengamat lebih seksama. Desau bambu masih menyisakan alunan nada yang menegangkan. Aroma ini.. pikirnya. Ki Demang semakin mengendus sisa-sisa aroma yang silir tercium kadang buyar. Ia seperti mengenali. Dicobanya lagi untuk lebih dekat dengan udara. Begitu ia menyadari dan mengenali aroma sisa itu, matanya semakin membara. Pasti dia! Pasti dia! Begitu pikir Ki Demang.

Dan amarahnya seperti tersulut minyak bumi. Menyambar-nyambar seisi jagad. Tinju yang sedari tadi terkepal kini di hempasnya dengan tenaga tak tanggung-tanggung serta suara deram yang menggelegar. Berderet pohon pisang dan beberapa kelompok bambu ambruk. Sebagian tembok bergetar, untunglah cukup kokoh hingga tak ikut luruh ke bumi..

“bangsat! Takkan kubiarkan mereka!” teriakan itu jauh dalam di palung hatinya, tetapi terdengar nyaring bagi alam, kendati tak satupun para prajurit itu tahu.

Bab 1. Selara Lumpur

Derap kuda semakin terdengar keras dari balik tembok setinggi tiga depa itu. Suara yang berderu-deru seakan berlomba dengan deru dera degap jantung sesosok yang kian menempel di tembok dalam remang obor tengah malam menuju subuh. Nafasnya naik turun, naik lagi dan turun dengan cepat. Tangannya bergetar memegang keris di tangan kiri, sementara lengan kanannya terluka, menganga dan memanjang beberapa kilan dari pangkal ketiak. Tak memungkinkan baginya menggunakan tangan kanan untuk bertahan.

Ia menatap sekeliling mencari rerumputan atau daun kering atau apa saja yang dapat menekan laju tetes darah dari sela-sela jari yang mengucur. Tidak ada.

Bulan seperempat purnama seperti menggantung iba. Malam larut seperti tak pernah ada. Yang tersisa hanya cemas dari lolongan serigala yang terdengar di kejauhan. Bayang-bayang hitam dari sinar obor bambu bergolek-golek di terjang udara dingin. Sesekali burung hantu bersahut dengan suaranya yang parau tetapi indah. Lantas bunyi desau-desau daun bambu bersama derit dahan muda membuat sosok itu semakin merapat lagi. Nyalinya sekali lagi, seperti terbenam minus satu dua depa dalam tanah.

Kuda-kuda semakin mendekat. Teplok-teplok yang seharusnya indah untuk nada langkah kuda, menjadi terdengar berang berganti drap..drap..drap, seirama dari sekelompok tetapi berkesan angker, membuat jantung mengerucut, nyeri.

“geledah! Cari sampai dapat!! Bawa kepalanya ke hadapanku!” suara melengking itu menikam bunyi-bunyi apapun. Ada geram amarah dan rapalan iblis yang terdengar begitu memekakkan.

Masing-masing kuda dihela penunggangnya untuk mulai berpencar. Masing-masing penunggang seakan hendak maju ke medan perang. Apapun perintah atas diri mereka, hukumnya ialah fardhu, wajib dan nyawa taruhannya. Padahal yang mereka kejar hanya seorang pemuda yang nyaris tak lagi mampu mempertahankan diri.

Sosok di balik tembok itu berupaya selinuwih mungkin untuk menahan nafasnya, ada sedikit saja endusan, itu berarti nyawa terancam. Satu dua kali, dilihatnya lagi sekeliling. Tak mungkin... tak mungkin bisa selamat. Gerbang tembok ini tertutup, sementara ia hanya bersembunyi di balik pohon melinjo nun di ujung.

Tak ada perlindungan apapun. Kecuali...kecuali... kecuali satu hal!

Tiba-tiba saja ide konyol itu terlintas di benak pemuda. Sebuah parit kecil namun panjang yang mengelilingi bangunan itu mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. Yah... ia hanya perlu bertahan sekejap.

Pemuda itu beranjak beringsut pelan berusaha tidak melahirkan bunyi apapun dengan pergerakannya, perlahan ia masuk dalam kubangan lumpur di parit sempit tersebut. Lantas berbaringlah ia seperti mayat hasil pembunuhan.

Tentu, ia harus menahan nyeri dan sakit pada luka di sekujur tubuh. Tentu, ia harus menahan nafas agar tak tercipta gelembung-gelembung akibat udara. Tentu, ia harus berusaha kaku, menyatu dengan mati, untuk harapan hidup.

Namun, pikirannya galau.. manakala beberapa prajurit berkuda mulai turun dari kuda dan menyusuri tiap celah. Semak-semak dikibas dengan pedang, pepohonan diterabas dengan mata nyalang, dan.. dan setiap genangan di hunus dengan tombak.

Sehingga, makin mengkerutlah si pemuda.

Dua prajurit mendekati persembunyian pemuda. Salah satu berujar.

“kau susuri dari hilir. Aku mulai dari sini..” menyuruh temannya untuk beranjak.

Terkepung namanya. Si pemuda berusaha memutar otak dalam pekatnya lumpur dan sesaknya nafas yang tertahan.

Tombak menghujam dan bunyinya seperti suara sangkakala maut, kala semakin mendekat, semakin beku si pemuda. Terasa hujaman itu mendekati kakinya, kemudian mulus di antara kedua paha, menjelang tombak hendak terhunus ke pangkal paha, pemuda itu bergerak cepat menghunus keris. Tak ada jalan lain. Prajurit lantas ambruk dengan meninggalkan erangan yang cukup terdengar keras.

Tak seberapa lama, beberapa prajurit lain mendekat. Tak ada jalan lain. Persembunyian pemuda tak lagi aman. Apa yang harus ia lakukan? Si pemuda kian gusar. Lantas terdengarlah suara pekikan yang menggelegar.

“keluar kau pengecut Nalaya!!!” suara itu ialah suara yang sama dengan yang terdengar pertama.

Si pemuda masih saja belum mendapat gagasan. Sementara kaki-kaki sudah semakin mendekat ke arahnya.

...