Jumat, 31 Juli 2009

Bab.2 Palung Amarah

Nalaya nama si pemuda yang berkubang dalam lumpur itu. Tak ada jalan lain. Ia harus keluar. Apapun itu, ia harus keluar. Mati dengan perlawanan jauh lebih berharga diri ketimbang mati terhunus tombak dalam kubangan lumpur. Nalaya bergerak. Menyingsingkan lumpur yang terlanjur melekat sekujur tubuh. Dikebas berkali-kali yang ada di depan mata. Tinggal beberapa langkah para prajurit di hadapannya, kendati berjarak mereka telah mengancamkan tombak-tombak mereka pada angin dengan arah Nalaya.

Keris di tangan kiri dikebut paksa, membuang lumpur, lagi. Cahaya obor bambu membiaskan kilat pada bilah keris. Nalaya mengambil kuda-kuda mempersiapkan diri untuk bertahan habis-habisan. Dari segi posisi, dia sudah kalah dulu.

“maju!” tantangnya mengaburkan nyali yang kian mengerut. Yang dipikirnya sekarang hanya satu, mati. Dan sebelum itu, dia akan melawan habis-habisan. Tetapi, konon.. saat seseorang bertarung dengan tak mengindahkan kematian, maka api semangatnya akan melampaui berpuluh bahkan beratus tombak keberanian. Nekad, bisa menjadi senjata yang mematikan. Dan itulah ajian pamungkas Nalaya.

Nalaya menggeram keras dan disambut dengan suara yang tak kalah nyaring dari mulut-mulut para prajurit. Dengan kondisi tubuh penuh luka, rasanya tidak memungkinkan Nalaya mampu melawan, ditambah tenaga dalamnya sudah habis saat bertarung dengan Ki Demang kala senja.

Benar saja, alam bawah sadar memang mendorongnya untuk maju, tetapi, tubuhnya tak kuasa, ia nyaris tumbang tanpa sempat memberikan perlawanan. Seketika, sekelebat bayang menyentuhnya dan membawanya pergi bagai kilat lewat. Sekelebat bayang itu meninggalkan aroma bunga tanjung yang kentara.

Dan tentu saja meninggalkan para prajurit yang kontan melongo mendapati mangsanya lenyap dalam waktu sekejap. Wewangian jejak sang bayangan tadi semakin kuat dan makin menyengat, membuat pening dan entah apa atau berasal dari mana wangi itu membuat para prajurit satu persatu ambruk.

Sesaat kemudian, Ki Demang datang dengan beberapa prajurit tambahan. Tahu incarannya melarikan diri, ia semakin geram. Matanya nyalang, sementara tangannya keras terkepal.

“bedebah!”

Tapi ada yang aneh, Ki Demang menyadari satu hal yang ganjil. Tidak memungkinkan cecunguk seperti Nalaya mampu minggat seorang diri dan merobohkan para prajurit ini. Tidak mungkin. Pasti ada seseorang yang membantunya. Pasti. Tapi siapa?

Lalu Ki Demang mengamat lebih seksama. Desau bambu masih menyisakan alunan nada yang menegangkan. Aroma ini.. pikirnya. Ki Demang semakin mengendus sisa-sisa aroma yang silir tercium kadang buyar. Ia seperti mengenali. Dicobanya lagi untuk lebih dekat dengan udara. Begitu ia menyadari dan mengenali aroma sisa itu, matanya semakin membara. Pasti dia! Pasti dia! Begitu pikir Ki Demang.

Dan amarahnya seperti tersulut minyak bumi. Menyambar-nyambar seisi jagad. Tinju yang sedari tadi terkepal kini di hempasnya dengan tenaga tak tanggung-tanggung serta suara deram yang menggelegar. Berderet pohon pisang dan beberapa kelompok bambu ambruk. Sebagian tembok bergetar, untunglah cukup kokoh hingga tak ikut luruh ke bumi..

“bangsat! Takkan kubiarkan mereka!” teriakan itu jauh dalam di palung hatinya, tetapi terdengar nyaring bagi alam, kendati tak satupun para prajurit itu tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar